JAKARTA, Mediasinfo.net - Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutuskan judicial review UU Narkotika terkait ganja pada Rabu (12/7) lusa. Pemohon berharap agar ganja untuk kesehatan dilegalkan. Bagaimana peta persidangan?
Pemohon itu adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, A.Md dkk. Berikut peta persidangan di MK yang di Lansir dari detikcom, Senin (18/7/2022):
Sung sehari-hari aktif di Korea Medical Cannabis Organization (KMCO). Ia membeberkan perlunya negara melegalkan ganja untuk kesehatan.
"Ini kenapa bisa diperbolehkan? Karena kita sudah mengacu kepada apa yang ditentukan oleh WHO dengan hasil dari riset para ahli seluruh dunia dan karena itu yang bisa menggunakan obat-obatan. Tetapi, karena memang hasil riset yang terkait dengan ganja itu masih terbatas, gitu, jadi memang tidak belum ditentukan oleh WHO dan itu dikembalikan kepada masing-masing negara," kata Sung.
Pakakrong Kwankhao yang menjelaskan mengenai penerapan kebijakan pemanfaatan ganja medis di Thailand untuk penelitian dan pelayanan kesehatan sejak 2019. Selain untuk penggunaan secara tradisional/herbal, obat-obatan ganja medis (ekstrak THC, CBD, maupun kombinasi keduanya) saat ini termasuk dalam produk obat-obatan esensial nasional sehingga seluruh pasien yang memenuhi syarat medis tertentu dapat mengakses obat tersebut dari rumah sakit ataupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
"Untuk meningkatkan keamanan penggunaan, pemerintah Thailand khususnya bagian otoritas kesehatan (baik konvensional maupun tradisional) juga menyediakan pedoman/guidelines penggunaan ekstrak ganja medis," ujar Pakakrong.
Stephen merupakan analis kebijakan senior untuk Transform Drug Policy Foundation, yaitu sebuah badan amal yang berbasis di Inggris. Transform Drug Policy Foundation terlibat dalam kegiatan analisis dan advokasi kebijakan obat‐obatan.
Ia menyebut penetapan ganja sebagai narkoba golongan I adalah kebijakan politis. Stephen menilai disetarakannya golongan ganja dengan heroin, sabu hingga ekstasi bukan didasarkan alasan kesehatan.
"Secara umum, kalau kita melihat secara historis banyak keputusan-keputusan tentang penggolongan obat-obatan tersebut, khususnya yang sudah lama dilakukan puluhan tahun yang lalu, seperti LSD atau cannabis (ganja) itu terjadi dalam suatu konteks yang sangat terpolitisasi," kata pria yang akrab disapa Steve.
Ia menyatakan dirinya setuju ganja untuk kesehatan dilegalkan.
"Konstitusi Republik Indonesia Pasal 28H ayat (1) menjamin hak atas kesehatan, atas layanan kesehatan kepada semua. Salah satu sifat dari hak atas kesehatan adalah bahwa hak tersebut bersifat progressive realization atau pemenuhannya harus dilakukan terus-menerus secara progresif dan tidak boleh regresif atau menurun, serta diberikan dan dipenuhi tanpa diskriminasi atau nondiscriminations principle," kata Asmin.
DPR mendorong pemerintah melakukan riset ganja untuk kesehatan. DPR berharap permasalahan ganja tidak hanya didekati dengan kacamata hukum semata, tetapi juga kacamata ilmu pengetahuan.
"Jadi, kami (DPR) mendorong pemerintah agar terus melanjutkan (hasil riset WHO soal ganja untuk kesehatan). Menurut saya semestinya memang harus lanjut, dilakukan oleh pemerintah, supaya kita mendapatkan kepastian, apakah benar, ya, hasil penelitian yang dilakukan expert itu ternyata ada gunanya, misalnya, ataukah tidak. Itu, itu tanggung jawab kita sebagai negara untuk melakukan," kata anggota DPR Taufik Basari.
Aris sehari-hari adalah Spesialis Saraf dan Ketua Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia. Aris saat ini bekerja di KSM Neurologi RSUP Kariadi Semarang. Menurutnya, organisasi epilepsi dunia (ILEA/International League Against Epilepsy) belum sepakat ganja bisa dipakai untuk terapi kesehatan. Oleh sebab itu, Aris meminta MK menolak judicial review pemohon agar ganja untuk kesehatan dilegalkan.
"Kami di ILAE, Organisasi Epilepsi Dunia, beberapa waktu yang lalu, tahun 2018, di Bali diselenggarakan simposium tentang pro dan kontra. Ini menunjukkan bahwa masih belum ada kesepakatan dari banyak ahli-ahli tentang obat kanabis sebagai obat antiepilepsi," kata Aris.
Rianto Setiabudy mengakui ada testimoni masyarakat akan efek positif memakai ganja. Namun pengakuan itu secara ilmiah masih bias.
"Walaupun dapat memberikan informasi kepada kita mengenai kemungkinan adanya manfaat potensial suatu obat atau (ucapan tidak terdengar jelas), testimoni tidak termasuk syarat pembuktian efektivitas yang sahih karena mudah sekali terjadi bias di situ," kata Rianto. (red).
FOLLOW THE Mediasinfo.net AT TWITTER TO GET THE LATEST INFORMATION OR UPDATE
Follow Mediasinfo.net on Instagram to get the latest information or updates
Follow our Instagram